Strategi
pemberantasan korupsi
Salah satu
isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia
adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi
di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sector pembangunan. Pemerintah Indonesia
sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya
pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan
dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga
membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fungsi
inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di
instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan
pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran.
Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM)juga
ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus
korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Beberapa LSM yang aktif dan gencar
mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara
antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government
Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
Dilihat
dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas
sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan
perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun
eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi
bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun.
Bahkan Indonesia kembali dinilai
sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005
berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga
konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei
lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia
merupakan negara yang paling korup di antara
12 negara Asia. Predikat negara
terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10
dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun
2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat
negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan
PERC, yaitu India (8,9), Vietnam(8,67), Thailand, Malaysia dan China berada
pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara
yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5),
Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan.
Korupsi
bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena
ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu
ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku
berjudul ”Arthashastra.” Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh abad
silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Tidak
ketinggalan Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai sebuah bentuk
kejahatan. Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku
atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku
dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui
proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau
jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang
atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau
jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga
langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan
negara/masyarakat.
Karena
pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi
juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat. Dari beberapa pendapat di
atas, dapat dikatakan bahwa korupsi bukan saja dilakukan oleh kalangan
birokrat, tetapi juga kalangan di luar birokrasi. Upaya pemberantasan korupsi
merupakan upaya dalam hal modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dari
pengalaman Negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan adalah bagaimana
merevitalisasi administrasi Negara. Sebagai contoh misalnya di korea selatan
yang telah melakukan revitalisasi peran administrasi Negara sejak tahun
1980-an. Beberapa revitalisasi yang dilakukan adalah melalui civil servant
ethics act pada tahun 1981(Hwang, 2004 ).
Sejak era reformasi Tahun 1998, paradigma
pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model yang sentralistik menjadi
desentralistik. Pembagian ke-wenangan antara pemerintah pusat dan daerah
menjadi bagian dari arah kebijakan Otonomi Daerah. Hal tersebut ditandai dengan
adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Hal ini ditandai dengan adanya proses
pemilihan kepala dinas propinsi melalui sebuah proses yang mengedepankan
transparansi dan kom-petensi. Proses tersebut juga jauh dari unsur korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN).
Pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf sejak
terpilih memimpin Propinsi paling ujung barat di Sumatera memiliki semangat
reformasi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya proses pemilihan kepala
dinas propinsi melalui sebuah proses yang mengedepankan transparansi dan
kom-petensi. Proses tersebut juga jauh dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Pemilihan atau penjaringan kepala dinas propinsi (dalam kasus disebut
kepala Satuan Kerja Perangkat atau SKPA) dilakukan dengan fit and proper
test. Semangat reformasi tentu saja sejalan dengan visi Pemerintah di bawah
Gubernur Irwandi Yusuf yaitu: “terwujudnya perubahan yang fundamental di
dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan Pemerintahan, yang menjunjung
tinggi azas transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan
yang bebas dari praktik korupsi dan penyalah-gunaan kekuasaan sehingga pada
tahun 2012 akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam
kemakmuran”.
Adanya keinginan yang kuat dari gubernur terpilih untuk
melakukan reformasi di berbagai bidang terutama sekali proses rekrutmen kepala
dinas patut dibanggakan. Publik menyambut baik proses pemilihan pejabat Eselon
II yang dilakukan melalui fit and proper test. Tingkat partisipasi yang
tinggi tidak hanya terjadi di kalangan birokrat, namun juga di kalangan
akademisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar